KAJIAN KUALITATIF LONGFORM SP2020

Demografi dan Ekonomi Hijau. Working Paper Series 

Pembangunan Ekonomi Hijau Sektor Kehutanan dalam Perspektif Sosial-Demografi di Kepulauan Riau : Pemetaan, Aktor dan Faktor 

kepulauan riau.pdf

Working Paper Series

Pembangunan Ekonomi Hijau Sektor Kehutanan dalam Perspektif Sosial-Demografi di Kepulauan Riau : Pemetaan, Aktor dan Faktor

Sandy Nur Ikfal Raharjo 

Syafuan Rozi

Yogo Aryo Jatmiko

Extended Abstrak. Kepulauan Riau memiliki keunikan yaitu sebagai provinsi kepulauan yang terdiri atas banyak pulau-pulau kecil, sehingga rawan terkena dampak perubahan iklim. Provinsi ini juga berada di lintasan jalur maritim internasional antara Laut China Selatan dan Selat Malaka, sehingga di satu sisi berpotensi memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi di sisi lain juga rawan terhadap kerusakan lingkungan terutama akibat limbah kapal-kapal yang melintas. Oleh karena itu, praktik ekonomi hijau menjadi sangat penting dilakukan di Provinsi Kepulauan Riau untuk mengoptimalkan potensi tersebut. Secara umum, ekonomi hijau adalah sebuah konsep untuk mengembangkan ekonomi dan pembangunan, sembari tetap memastikan keberlangsungan sumber daya alam dan lingkungan untuk mencapai kesejahteraan manusia (OECD, 2021).

Dari lima sektor utama dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, sektor kehutanan terutama mangrove menjadi perhatian utama dalam tulisan ini karena beberapa alasan. Pertama, 54,03% wilayah daratan provinsi Kepulauan Riau adalah kawasan hutan dan konservasi perairan. Kedua, mangrove bersifat krusial bagi keberlanjutan eksistensi kepulauan ini di tengah fenomena pemanasan global. Ketiga, masih banyak masyarakat Kepulauan Riau yang mengeksploitasi pohon mangrove untuk industri dapur arang sehingga perlu ada alternatif sumber penghasilan yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memetakan praktik, aktor dan faktor pendukung-penghambat  ekonomi hijau sektor kehutanan mangrove di Provinsi Kepulauan Riau.

Dari sisi praktik, penelitian ini menemukan kemiripan praktik eko-wisata berbasis mangrove di berbagai lokasi di Provinsi Kepulauan Riau. Eko-wisata ini menggabungkan usaha pelestarian mangrove dan upaya pengembangan ekonomi berbasis masyarakat lokal. Praktik tersebut ditemukan di berbagai pulau dan kabupaten. Pertama, Kampung Pekaka, Lingga Barat, yaitu pelestarian mangrove dari praktik “dapur arang” untuk menjaga keberlangsungan industri belacan dan sagu tingkat rumah tangga. Kedua, Desa Wisata Resun, Lingga Utara, yaitu pelestarian hutan lindung dari praktik logging melalui pengembangan wisata alam sungai, air terjun, dan mangrove, dikombinasikan dengan wisata petik buah salak Ketiga, Pengudang Bintan Mangrove, Kabupaten Bintan, yaitu pelestarian hutan mangrove dan ekosistem lamun dari oil spill melalui pengembangan destinasi wisata untuk mengejar ketertinggalan kesejahteraan. Keempat, Wisata Alam Desa Temburun, Kepulauan Anambas, yaitu pengembangan wisata kawasan Air Terjun dan Mangrove untuk menghidupkan ekonomi masyarakat, terutama kelompok ibu-ibu pembuat kerupuk ikan dan makanan tradisional lainnya. Kelima, Desa Wisata Kampung Tua Bakau Serip, yaitu pelestarian kawasan mangrove yang dulunya tempat buang sampah melalui pengembangan wisata alam dan budaya untuk membantu masyarakat nelayan yang “tenggelam” di antara resort-resort mewah dan kawasan industri. Keenam, Wisata Pulau Tulang Kabupaten Karimun, yaitu pengembangan wisata minat khusus seperti menangkap udang dan memancing ikan di antara pohon bakau.       

Dari segi aktor, praktik ekonomi hijau tersebut lebih banyak dilakukan oleh level komunitas (pokdarwis), disusul pemerintah daerah dan tingkat rumah tangga/keluarga. Rata-rata aktor ini merupakan penduduk asli, bukan migran pendatang, yang peduli dengan keberlangsungan wilayah tempat mereka lahir dan dibesarkan. Selain itu, Kerja sama yang baik antara pemerintah-komunitas-universitas mengakselerasi pengembangan praktik ekonomi hijau tersebut.

Dari segi faktor, tingkat Pendidikan, ada/tidaknya pengalaman migrasi, tingkat partisipasi perempuan, tingkat kesadaran lingkungan masyarakat, tingkat dukungan pemerintah setempat, dan tingkat penguasaan teknologi menjadi faktor yang ikut mempengaruhi keberlanjutan praktik ekonomi hijau di atas.

Penelitian ini merekomendasikan penguatan kerja sama atau kolaborasi antaraktor. Misalnya, pemerintah memfasilitasi praktik baik ekonomi hijau melalui kebijakan, perguruan tinggi dan lembaga riset mendukung pengembangannya melalui rekomendasi berbasis studi ilmiah, aktor swasta memberi permodalan terhadap praktik yang berpotensi untung dan berkembang menjadi skala besar, NGO mengadvokasi berbagai pelatihan keterampilan dan perluasan jaringan, serta kelompok masyarakat penggerak yang menjadi aktor utama. Dengan demikian, kesejahteran penduduk diharapkan meningkat dan kelestarian lingkungan tetap terjaga.